Makna dan Tradisi Sesaji dalam Pagelaran Ketoprak dan Gamelan Jawa
Gilangharjo, Dalam tradisi seni pertunjukan Jawa, khususnya ketoprak, keberadaan sesaji menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari rangkaian pagelaran. Sesaji dalam konteks ini bukan sekadar simbol budaya, melainkan ungkapan doa dan permohonan restu agar pementasan berjalan lancar tanpa hambatan. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai spiritual dan penghormatan terhadap budaya serta warisan leluhur Jawa yang sarat makna filosofis.
Pada pelaksanaan pentas ketoprak, biasanya disiapkan dua macam sesaji, masing-masing memiliki tujuan dan penempatan yang berbeda:
-
Sesaji untuk gamelan, yang diletakkan di sebelah gong. Sesaji ini sebagai bentuk penghormatan terhadap peralatan gamelan yang dianggap memiliki daya atau kekuatan spiritual, sekaligus simbol keselarasan antara nada, irama, dan semangat pemain.
-
Sesaji untuk pemain ketoprak, yang ditempatkan di dekat tempat rias atau ruang persiapan para pemain. Sesaji ini ditujukan agar para pemain diberikan kelancaran, ketenangan batin, serta penampilan yang memikat dan tidak mengalami halangan selama pementasan berlangsung.
Kedua jenis sesaji ini biasanya terdiri atas ingkung ayam jago, bunga setaman, nasi uduk atau tumpeng kecil, jajanan pasar, air putih, kopi pahit, rokok, dan kemenyan, yang semuanya memiliki makna simbolik: kesucian niat, keseimbangan rasa, ketulusan, serta penghormatan terhadap unsur-unsur spiritual dan budaya yang melingkupi pertunjukan.
Sebelum sesaji digunakan, dilakukan prosesi doa bersama atau masrahke sajen yang dipimpin oleh tetua atau orang yang dituakan dalam kelompok. Prosesi ini merupakan bentuk penyerahan sesaji kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memohon izin agar seluruh rangkaian pagelaran diberi kelancaran, keselamatan, dan keberkahan.
Doa tersebut juga menjadi momen refleksi bagi seluruh pelaku seni, mengingatkan bahwa pertunjukan bukan semata hiburan, tetapi juga pengabdian dan persembahan budaya. Dengan demikian, seni ketoprak tetap dijalankan dengan sikap hormat, rendah hati, dan penuh makna spiritual.
Dalam pandangan budaya Jawa, setiap karya seni memiliki unsur kehidupan yang harmonis antara cipta, rasa, dan karsa. Sesaji menjadi simbol penjaga keseimbangan tiga unsur tersebut. Melalui sesaji, para pelaku seni diajak untuk menjaga rasa yaitu keselarasan antara niat, tindakan, dan hasil karya yang dipersembahkan kepada masyarakat.
Selain itu, sesaji juga menegaskan prinsip hamemayu hayuning bawana memperindah dan menjaga keharmonisan dunia. Dengan menghaturkan sesaji dan doa, para pemain dan pengrawit berusaha menata batin agar pementasan dapat berjalan selaras, menyenangkan penonton, sekaligus membawa pesan moral yang baik.
Tradisi sesaji dalam pagelaran ketoprak bukanlah bentuk takhayul, melainkan manifestasi rasa syukur, doa, dan penghormatan terhadap budaya Jawa yang adiluhung. Melalui ritual sederhana ini, para seniman berharap segala sesuatu yang mereka tampilkan dapat berjalan lancar, tanpa kendala, dan memberikan manfaat bagi semua yang hadir.
Dengan menjaga tradisi sesaji, para pelaku seni tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga meneguhkan jati diri budaya Jawa sebagai peradaban yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.